Kamis, 15 November 2007

filosofi pinang

Pertama kali menginjakkan kaki di Papua, ada ketakjuban. Begitu luas Indonesia, sangat beragam rakyatnya. Begitu juga saat berada di Bandara Sentani, ada ketakjuban sekaligus sesuatu yang mengganjal mata saya.

Jadi begini...kalau di bandara Hassanudin atau bandara lain di Indonesia, selalu terpampang “Dilarang merokok disini!!” atau “Terimakasih anda tidak merokok di ruangan ini!!”. Hal berbeda akan sodara temui di bandara-bandara sepanjang tanah Papua. Disana sodara aka melihat “Dilarang meludah pinang disini!!”. Ya...meludah pinang. Kenapa? Saya sendiri masih bingung. Namun kemudian kebingungan saya terjawab setelah mengelilingi saya Papua cukup lama. Akhirnya saya menyadari bahwa, menjadi sebuah kebiasaan bagi warga papua untuk mengunyah pinang sekaligus meludah sembarangan.

Dikampung halaman saya, atau di Jawa, Melayu atau daerah Asia Tenggara, tradisi makan sirih pinang biasanya dilakoni oleh para tetua. Apalagi sekarang, dengan arus global dan informasi demikian luas dan cepat, praktis hanya kakek nenek saja yang masih mengunyah pinang. Para muda sangat jarang atau malah tidak ada yang meneruskan tradisi ini. Mereka meninggalkannya karena alasan sudah kuno, jadul, konservatif atau alasan lain yang menyiratkan bahwa tradisi tersebut sudah sangat jauh ketinggalan. Rokok menjadi pilihan lain yang lebih memberikan kelas tersendiri.

^ ”Lalu sampeyan sudah pernah makan pinang?”

* ”Pernah...tapi gak biasa, saya lebih terbiasa dengan lintingan, hehehehe…”

Nah...pinang (Areca catechu L) yang konon katanya berasal dari tanah Malaya (Malaysia), bagi orang Papua bisa diibaratkan seperti kudapan sehari-hari. Makanya jangan heran, disini sodara dengan mudah bisa menjumpai anak-anak mulai usia 5 tahun dengan mulut berwarna kemerahan, tanda sedang atau habis makan pinang. Makan pinang dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja saat diinginkan. Selain itu, kegiatan ini juga bernilai tinggi dalam adat kebiasaan masyarakat Papua. Sepanjang yang saya lihat, dalam upacara kelahiran, perkawinan, atau ritual adat lainnya, pinang adalah yang pertama disuguhkan kepada seluruh tamu yang hadir. Tak peduli apakah tamunya terbiasa makan pinang ataukah tidak.

^ ’”Nah sampeyan katanya mau cerita tentang filosofi Pinang? Kok malah cerita tentang Papua dan kampung sampeyan!”

* ’”Sabar dulu...!!! Ibarat sebuah tesis, salah kalau tanpa pendahuluan; seperti olahraga harus ada pemanasan dulu; ibarat persetubuhan tidak nyaman tanpa foreplay. Agar tidak keseleo. Iya to...?

^ ”Monggo kalau begitu.!!!”

Jadi...dalam tradisi makan pinang, ada bahan yang tidak terpisahkan, yaitu sirih, kapur dan gambir. Keempat bahan ini merupakan satu kesatuan. Ibarat bumbu masakan, bahan mesti tercampur merata. Ini yang saya temukan di kawasan barat Indonesia. Sedikit berbeda dengan di Papua, disini mereka sangat jarang yang menambahkan gambir. Saya tidak tahu sebabnya. Apakah mereka tidak terbiasa atau tidak tahu.

Sirih adalah tanaman tropis, tumbuh di Madagaskar, Timur Afrika, dan Hindia Barat. Kenapa saya bilang bahwa pinang merupakan tanaman tropis? Coba sodara amati, apa di Amerika, Inggris atau Antartika bisa ditemukan sirih? Tidak kan? Nah...sirih yang terdapat di Semenanjung Malaysia ada empat jenis, yaitu sirih Melayu, sirih Cina, sirih Keling, dan sirih Udang. Dalam bahasa Indonesia, dikenal berbagai nama jenis sirih seperti sirih Carang, Be, Bed, Siyeh, Sih, Camai, Kerekap, Serasa, Cabe, Jambi, Kengyek, dan Kerak.

* ”Maaf kalau saya terkesan menggurui, tapi pengetahuan ini baru saja saya baca dari buku. Jadi mumpung inget, maka saya ceritakan pada sodara...Sekali-sekali boleh to jadi guru?!!

^ ”Monggo...!!”

Sirih, konon melambangkan sifat rendah hati, memberi, serta senantiasa memuliakan orang lain.
Nah...makna ini ditafsirkan dari cara tumbuh sirih yang memanjat pada para-para, batang pohon sakat atau batang pohon api-api tanpa merusakkan batang atau apapun tempat ia hidup. Dalam istilah biologi disebut simbiosis komensalisme. Daun sirih yang lebat dan rimbun memberi keteduhan di sekitarnya.

Lain sirih, lain lagi kapur. Kapur diperoleh dari hasil pemrosesan cangkang kerang atau pembakaran batu kapur. Proses ini sebenarnya tidak baik untuk kelestarian lingkungan karena bahan yang dipakai biasanya cangkang kerang kima. Secara fisik, warnanya putih bersih, tetapi reaksi kimianya bisa menghancurkan. Kapur melambangkan hati yang putih bersih serta tulus, tetapi jika keadaan memaksa, ia akan berubah menjadi lebih agresif dan marah.

^ ”Ah...ngarang sampeyan, dari mana dapat makna begitu? Dibuku juga?”

* “Hehehe...iya”.

Di Jawa atau Bali, biasanya tradisi makan pinang selalu ditambahkan gambir. Seperti sirih, gambir juga adalah tumbuhan yang terdapat di Asia Tenggara, termasuk dalam keluarga Rubiaceae. Daunnya berbentuk bujur telur atau lonjong, dan permukaannya licin. Bunga gambir berwarna kelabu. Gambir juga dimanfaatkan sebagai obat, antara lain untuk mencuci luka bakar dan kudis, mencegah penyakit diare dan disentri, serta sebagai pelembap dan menyembuhkan luka di kerongkongan. Nah…pengetahuan ini saya dapat waktu kuliah Struktur Anatomi Tumbuhan.

Gambir memiliki rasa sedikit pahit, melambangkan keteguhan hati. Makna ini diperoleh dari warna daun gambir yang kekuning-kuningan serta memerlukan suatu pemrosesan tertentu untuk memperoleh sarinya, sebelum bisa dimakan. Dimaknai bahwa sebelum mencapai sesuatu, kita harus sabar melakukan proses untuk mencapainya.

^ ”Rumit juga ya simbolisasinya. Bagaimana dengan pinang?”

Pinang dalam bahasa Hindi buah ini disebut supari, dan pan-supari untuk menyebut sirih-pinang. Bahasa Malayalam menamakannya adakka atau adekka, sedang dalam bahasa Sri Lanka dikenal sebagai puvak. Masyarakat Thai menamakannya mak, dan orang Cina menyebutnya pin-lang.

Pinang merupakan lambang keturunan orang yang baik budi pekerti, jujur, serta memiliki derajat tinggi. Bersedia melakukan suatu pekerjaan dengan hati terbuka dan bersungguh-sungguh. Makna ini ditarik dari sifat pohon pinang yang tinggi lurus ke atas serta mempunyai buah yang lebat dalam setandan.

Nah…dengan memakan serangkai pinang ini, merupakan simbolis dari harapan untuk menjadi manusia yang selalu rendah hati dan meneduhkan layaknya sirih. Hati bersih, tulus tapi agresif seperti kapur. Sabar dan hati yang teguh bak sang gambir. Jujur, lurus hati dan bersungguhsungguh layaknya pohon pinang. Ya...setidaknya begitulah makna filosofis dari tradisi makan pinang.

^ “Sepertinya harus menarik nafas mendengar cerita panjang sampeyan. Bagaimana kalau kita mampir ke warung Bu Lestari. Ngopi sambil rokokan dan mencoba makan pinang”

* ”Ayooo...tapi sodara yang bayar ya..!!!”

Tidak ada komentar: